Istilah fiqh jinayah atau hukum pidana
Islam diartikan sebagai ketentuan-ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang
melarang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran
terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan
atau harta.[1]
Dalam konsep hukum positif, hukum pidana disebut juga dengan ius poenale dalam
arti objektif (hukum pidana materil) dan ius puniendi dalam arti
subjektif (hukum pidana formil).[2]
Pengertian hukum pidana secara umum tidak ada
perbedaan definisi antara pidana Islam maupun pidana positif. Hanya saja, pada
hukum pidana positif, pendefinisian hukum pidana ini ditekankan juga pada hak
penguasa untuk menjatuhkan pidana tanpa ada campurtangan dari pihak korban.
Dalam konsep hukum pidana Islam, ada konsep qisas-diyat yang pada
pelaksanaannya melibatkan korban-ahli waris untuk ikut serta menentukan penjatuhan
hukuman bagi pelaku.
Roscoe Pound menyatakan “law as a tool of social
engineering” hukum itu sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Yang menjadi
pokok pikiran hukum adalah menata kepentingan-kepentingan yang ada di
masyarakat.[3]
Setiap aturan maupun norma yang ada di dunia ini mempunyai tujuan. Sama halnya
dengan norma hukum atau hukum itu sendiri. Dalam konteks hukum Islam, tujuan
hukum menurut para ulama yaitu diantaranya: Mendidik jiwa, Mensucikan manusia,
Menegakkan keadilan, Merealisir kemaslahatan, dan Kebahagiaan di dunia-akhirat.[4]
Jika kita melihat tujuan pemidanaan dalam
hukum konsep umum, pada beberapa literatur, tujuan hukum pidana dibedakan
antara tujuan hukum pidana (sstrafrechtscholen) dengan tujuan
diadakannya pemidanaan (strafrechtstheorieen). Tujuan hukum pidana
mengenal dua aliran untuk maksud dan tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana
yaitu: 1) Aliran klasik, tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi
individu dari kekuasaan penguasa atau negara (pertama dikemukanan oleh Markies
Van Beccaria tahun 1764). 2) Aliaran moderen yang mengajarkan bahwa tujuan
susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.[5]
Tujuan diadakan pemidanaan
(strafrechtstheorieen) dikenal dalam tiga teori pidana, yaitu:
Teori pembalasan (retribution), teori
ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan peletak dasar teori ini adalah Immanuel
Kant, kemudian disusul dengan par apemikir seperti Hegel, Herbert dan Stahl.
Hanya saja pada dasarnya aliran ini dibedakan atas corak subjektif yang
pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak
objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah
dilakuakan oleh orang yang bersangkutan.
Teori tujuan (pevensi), teori ini
terbagi dalam beberapa paham aliran juga yaitu: a. prevensi umum (generale
preventie) pencegahan kepada semua orang. b. Prevensi khusus (speciale preventie)
pidana ini mencegah si pelaku untuk mengulangi lagi. c. Memperbaiki si pembuat,
d. Menyingkirkan penjahat, e. Aliran yang mendasarkan bahwa kejahatan
menimbulkan kerugian yang bersifat ideal di masyarakat, oleh karenanya pidana
diadakan untuk memperbaiki kerugian itu.
Teori gabungan menyatakan bahwa pidana
hendaknya didasarkan pada tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan
ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan
pada salah satu tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun semua unsur yang
ada. Teori ini dikemukan oleh beberapa tokoh seperti Hugo De Groot (Grotius)
yang memandang teori gabungan ini sebagai pidana berdasarkan keadilan absolute,
dan Rossi dengan teorinya “Justice sociale” meyatakan bahwa keadilan
absolut itu hanya dapat terwujud dalam batas-batas keperluan justice sociale.[6]
Pendapat lain menyatakan juga bahwa tujuan pemidanaan
umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism.
Kedua padangan ini umumnya diikuti dan kemudian dikembangankan dalam teradisi
masing-masing negara baik yang menganut common law system maupun civil
law system. Dalam padangan utilitarianism yang diletakannan dasarnya oleh
Bentham, padangan ini terutma menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan
berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat dan teori tujuan), bukan hanya
sekedar pembalasan tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.[7]
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu,
sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam
empat bagian, yaitu: Pembalasan (revenge), Penghapusan dosa (ekspiation),
Menjerakan (detern), Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation
of the criminal). Abdul qadir Awdah, seorang ahli hukum pidana Islam dari
Mesir mengatakan bahwa prinsip hukuan dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua
prinsip pokok, yaitu: 1) menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan
pribadi terpindana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala
bentuk tindak pidana. 2) Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan
untuk memelihara stabilitas msayarakat sedangkan untuk pribadi terpidana
bertujuan untuk memperbaiki sikap dan prilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya
hukuman bagi segala bentuk tindak pidan aharus sesuai dengan kemaslahatan dan
ketentaraman msayarakat yang menghendakinya.[8]
Beranjak kepada tujuan hukum pidana Islam,
dari berbagai literatur yang ada, hampir semua secara umum mengamini bahwa
tujuan hukum pidana Islam adalah untuk menciptakan keadilan ketentraman
individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbutan yang bisa menimbulkan
kerugian terhadap individu dan masyarkat, baik yang berkaitan dengan jiwa,
harta maupun kehormatan. Tujuan ini sejalan dengan pemberian hukuman dalam Islam
sesuai dengan konsep tujuan umum disyaritkannya hukum, yaitu untuk merealisasi
kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.[9]
Bila dilihat tujuan hukum itu dari ketetapan
hukum yang dibuat oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW baik yang termuat dalam
Al-Qur’an atau Al-Hadis yaitu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan jalan
mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak
berguna bagi kehidupan manusia (kemaslahatan manusia: kemaslahatan yang
dimaksud oleh Abu Ishak Asy-Syathibiy dan disepakati oleh para ahli lainnya
yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Oleh karenanya,
tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
1.
Aspek pembuat hukum Islam adalah Allah SWT dan
Nabi Muhammad SAW, tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi keperluan manusia
yang bersifat daruriyyat yaitu kebutuhan primer, hajiyyat yaitu
kebutuhan skunder seperti berbagai fasilitas untuk bekerja maupun fasilitas
umum, dan tahsiniyyat dapat diartikan sebagai pemenuhan hal-hal yang
menjadikan manusia mampu berbuadan dan urusan-urusan hidup secara lebih baik.[10] Selain
itu, adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia serta meningkatkan
kemampuan manusia untuk memahami hukum Islam melalui metodelogi pembentukannya
(ushul al-fiqh).
2.
Aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana
hukum Islam yaitu: tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan manusia
yang bahagia. Caranya adalah dengan mengambil yang bermanfaat dan menolak yang
tidak berguna bagi kehidupan. Singkatnya untuk mencapai keridhoaan Allah SWT.
Berdasaarkan tujuan hukum Islam di atas, dapat
dirumuskan bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta
masyarakat secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum pidana Islam
amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, empat dari lima tujuan syariat
yang disebutkan di atas, hanya dapat dicapai dengan mentaati ketentuan hukum
pidana Islam, dan dua diantaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata Islam,
yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata dipeliharai oleh
ketentuan hukum pidana Islam.[11]
Tujuan hukum pidana Islam secara implisit
menetapkan adanya tujuan pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[12]
è
Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.[13]
Dari ayat di atas secara substansial
menunjukan adanya unsur pembalasan yang dikehendaki syara bagi pelanggar
undang-undang dan harus dilakukan di depan umum. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan tujuan pemidanaan dalam islam sebagai berikut:
1. Pemidanaan sebagai pembalasan (retribution), artinya setiap
perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
nas. Jangka panjang aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat
luas (Social defence). Contoh hukum qisas.
2. Pemidanaan sebagai pencegahan kolektif atau general prevention
artinya pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak
melakukan kejahatan serupa. Contoh: orang berzina harus didera dimuka umum
sehingga orang lain melihat dan diharpkan tidak melakukan perzinaan.
3. Pemidanaan dimaksud sebagai special prevention (pencegahan khusus)
artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia
akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi, dalam aspek ini
terkandung nilai treatment.[14]
Menurut pendapat lain, Tujuan pokok dalam
penjatuhan hukum dalam syari’at Islam ialah pencegahan atau preventif (ar-radu
wa zajru) dan pengajaran serta pendidikan atau represif (al-islah
wa tahdzib). Pengertian pencegahan disini adalah menahan pembuat agar tidak
mengulangi perbuatan jarimahnya atau tidak terus menerus melakukan
perbuatannya, dan mencegah orang lain agar tidak melakukannnya.[15]
Oleh karena tujuan pemidanaan adalah
pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan
tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dan
demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian
keadaanya, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukum ta’zir,
menurut perbuatannya. Selain pencegahan syari’at Islam bertujuan juga untuk
memberikan perhatiannya kepada diri pembuat sendiri, bahkan memberikan
pelajaran dan mengushakan yang terbaik bagi pembuat jarimah. Disamping untuk
diri pembuat, penjatuahn pidana juga bertujuan untuk membentuk masyarakat yang
baik.[16]
Pada konteks Indonesia, maksud tujuan
pemidanaan ialah:
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,
masyarakat, dan penduduk.
2. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan mejadi anggota masyarajat yang
berbudi baik dan berguna.
3. Untuk menghilangkan noda-noda akibat tindak pidana.
4. Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Sistem pemindanan dan susunan pidana di dalam
WVS Nederlandse banyak dipengaruhi oleh aliaran prevensi khusus yang bersifat verbetering,
menunjukan hukum pidana disana mempunyai tujuan kompromis. Jika menilik pada
KUHP Indonesia yang diterapkan berdasarkan asas konkordansi, maka tidak bisa
dipungkiri pula jika dalam KUHP tujuan pemidanaan lebih menuju pada aliran
kompromis atau gabungan.[17]
Dari uraian diatas terkait tujuan hukum pidana
dan tujuan pemidanaan dalam hukum civil law,common law maupun hukum
umum hampir serupa dengan tujuan hukum pidana Islam. Tujuan hukum pidana maupun
pemidanaan pada dasarnya mencakup tujuan retribution, prevention baik
special prevention maupun general prevention. Kesemua tujuan
hukum itu pada essensinya bertujuan untuk memberikan kemaslahatan, perlindungan
dan kemanfaat kepada individu dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maidah (5): 38.
An-Nur (24): 2.
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Sinar Garafika, 2007.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2007.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006.
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,
Sleman: Logung Pustaka, 2007.
----, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta:
Teras, 2009
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan
Syariah Dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syaamil Press-Grafika, 2001
Tanya, Bernard L. dkk., Teori-Teori Hukum: Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing,
2010.
Materi Perkuliahan Filsafat Hukum Islam disampaikan
oleh Prof. DR. Abdul Salam, Tanggal 28 November 2011.
[3] Bernard L. Tanya dkk., Teori-Teori Hukum:
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010), hlm. 154.
[4] Materi Perkuliahan Filsafat Hukum Islam disampaikan oleh Prof. DR. Abdul
Salam, tanggal 28 November 2011.
[7] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2006), hlm. 129.
[10] Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Dalam
Konteks Modernitas, (Bandung: Asy Syaamil Press-Grafika, 2001), hlm.
130-131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar