Sabtu, 17 Desember 2011

TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM


Istilah fiqh jinayah atau hukum pidana Islam diartikan sebagai ketentuan-ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang melarang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.[1] Dalam konsep hukum positif, hukum pidana disebut juga dengan ius poenale dalam arti objektif (hukum pidana materil) dan ius puniendi dalam arti subjektif (hukum pidana formil).[2]
Pengertian hukum pidana secara umum tidak ada perbedaan definisi antara pidana Islam maupun pidana positif. Hanya saja, pada hukum pidana positif, pendefinisian hukum pidana ini ditekankan juga pada hak penguasa untuk menjatuhkan pidana tanpa ada campurtangan dari pihak korban. Dalam konsep hukum pidana Islam, ada konsep qisas-diyat yang pada pelaksanaannya melibatkan korban-ahli waris untuk ikut serta menentukan penjatuhan hukuman bagi pelaku.
Roscoe Pound menyatakan “law as a tool of social engineering” hukum itu sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Yang menjadi pokok pikiran hukum adalah menata kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat.[3] Setiap aturan maupun norma yang ada di dunia ini mempunyai tujuan. Sama halnya dengan norma hukum atau hukum itu sendiri. Dalam konteks hukum Islam, tujuan hukum menurut para ulama yaitu diantaranya: Mendidik jiwa, Mensucikan manusia, Menegakkan keadilan, Merealisir kemaslahatan, dan Kebahagiaan di dunia-akhirat.[4]
Jika kita melihat tujuan pemidanaan dalam hukum konsep umum, pada beberapa literatur, tujuan hukum pidana dibedakan antara tujuan hukum pidana (sstrafrechtscholen) dengan tujuan diadakannya pemidanaan (strafrechtstheorieen). Tujuan hukum pidana mengenal dua aliran untuk maksud dan tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana yaitu: 1) Aliran klasik, tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara (pertama dikemukanan oleh Markies Van Beccaria tahun 1764). 2) Aliaran moderen yang mengajarkan bahwa tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.[5]
Tujuan diadakan pemidanaan (strafrechtstheorieen) dikenal dalam tiga teori pidana, yaitu:
Teori pembalasan (retribution), teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan peletak dasar teori ini adalah Immanuel Kant, kemudian disusul dengan par apemikir seperti Hegel, Herbert dan Stahl. Hanya saja pada dasarnya aliran ini dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakuakan oleh orang yang bersangkutan.
Teori tujuan (pevensi), teori ini terbagi dalam beberapa paham aliran juga yaitu: a. prevensi umum (generale preventie) pencegahan kepada semua orang. b. Prevensi khusus (speciale preventie) pidana ini mencegah si pelaku untuk mengulangi lagi. c. Memperbaiki si pembuat, d. Menyingkirkan penjahat, e. Aliran yang mendasarkan bahwa kejahatan menimbulkan kerugian yang bersifat ideal di masyarakat, oleh karenanya pidana diadakan untuk memperbaiki kerugian itu.
Teori gabungan menyatakan bahwa pidana hendaknya didasarkan pada tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun semua unsur yang ada. Teori ini dikemukan oleh beberapa tokoh seperti Hugo De Groot (Grotius) yang memandang teori gabungan ini sebagai pidana berdasarkan keadilan absolute, dan Rossi dengan teorinya “Justice sociale” meyatakan bahwa keadilan absolut itu hanya dapat terwujud dalam batas-batas keperluan justice sociale.[6]
Pendapat lain menyatakan juga bahwa tujuan pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism. Kedua padangan ini umumnya diikuti dan kemudian dikembangankan dalam teradisi masing-masing negara baik yang menganut common law system maupun civil law system. Dalam padangan utilitarianism yang diletakannan dasarnya oleh Bentham, padangan ini terutma menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat dan teori tujuan), bukan hanya sekedar pembalasan tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.[7]
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yaitu: Pembalasan (revenge), Penghapusan dosa (ekspiation), Menjerakan (detern), Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal). Abdul qadir Awdah, seorang ahli hukum pidana Islam dari Mesir mengatakan bahwa prinsip hukuan dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu: 1) menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpindana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. 2) Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas msayarakat sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan prilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidan aharus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentaraman msayarakat yang menghendakinya.[8]
Beranjak kepada tujuan hukum pidana Islam, dari berbagai literatur yang ada, hampir semua secara umum mengamini bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah untuk menciptakan keadilan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbutan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap individu dan masyarkat, baik yang berkaitan dengan jiwa, harta maupun kehormatan. Tujuan ini sejalan dengan pemberian hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum disyaritkannya hukum, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.[9]
Bila dilihat tujuan hukum itu dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW baik yang termuat dalam Al-Qur’an atau Al-Hadis yaitu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna bagi kehidupan manusia (kemaslahatan manusia: kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Ishak Asy-Syathibiy dan disepakati oleh para ahli lainnya yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Oleh karenanya, tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
1.        Aspek pembuat hukum Islam adalah Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi keperluan manusia yang bersifat daruriyyat yaitu kebutuhan primer, hajiyyat yaitu kebutuhan skunder seperti berbagai fasilitas untuk bekerja maupun fasilitas umum, dan tahsiniyyat dapat diartikan sebagai pemenuhan hal-hal yang menjadikan manusia mampu berbuadan dan urusan-urusan hidup secara lebih baik.[10] Selain itu, adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia serta meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami hukum Islam melalui metodelogi pembentukannya (ushul al-fiqh).
2.        Aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum Islam yaitu: tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan manusia yang bahagia. Caranya adalah dengan mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi kehidupan. Singkatnya untuk mencapai keridhoaan Allah SWT.
Berdasaarkan tujuan hukum Islam di atas, dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum pidana Islam amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, empat dari lima tujuan syariat yang disebutkan di atas, hanya dapat dicapai dengan mentaati ketentuan hukum pidana Islam, dan dua diantaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata dipeliharai oleh ketentuan hukum pidana Islam.[11]
Tujuan hukum pidana Islam secara implisit menetapkan adanya tujuan pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:
    
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[12]
è  
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.[13]
Dari ayat di atas secara substansial menunjukan adanya unsur pembalasan yang dikehendaki syara bagi pelanggar undang-undang dan harus dilakukan di depan umum. Dari uraian diatas dapat disimpulkan tujuan pemidanaan dalam islam sebagai berikut:
1.      Pemidanaan sebagai pembalasan (retribution), artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. Jangka panjang aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas (Social defence). Contoh hukum qisas.
2.      Pemidanaan sebagai pencegahan kolektif atau general prevention artinya pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh: orang berzina harus didera dimuka umum sehingga orang lain melihat dan diharpkan tidak melakukan perzinaan.
3.      Pemidanaan dimaksud sebagai special prevention (pencegahan khusus) artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi, dalam aspek ini terkandung nilai treatment.[14]
Menurut pendapat lain, Tujuan pokok dalam penjatuhan hukum dalam syari’at Islam ialah pencegahan atau preventif (ar-radu wa zajru) dan pengajaran serta pendidikan atau represif (al-islah wa tahdzib). Pengertian pencegahan disini adalah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau tidak terus menerus melakukan perbuatannya, dan mencegah orang lain agar tidak melakukannnya.[15]
Oleh karena tujuan pemidanaan adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian keadaanya, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukum ta’zir, menurut perbuatannya. Selain pencegahan syari’at Islam bertujuan juga untuk memberikan perhatiannya kepada diri pembuat sendiri, bahkan memberikan pelajaran dan mengushakan yang terbaik bagi pembuat jarimah. Disamping untuk diri pembuat, penjatuahn pidana juga bertujuan untuk membentuk masyarakat yang baik.[16]
Pada konteks Indonesia, maksud tujuan pemidanaan ialah:
1.      Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk.
2.      Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan mejadi anggota masyarajat yang berbudi baik dan berguna.
3.      Untuk menghilangkan noda-noda akibat tindak pidana.
4.      Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Sistem pemindanan dan susunan pidana di dalam WVS Nederlandse banyak dipengaruhi oleh aliaran prevensi khusus yang bersifat verbetering, menunjukan hukum pidana disana mempunyai tujuan kompromis. Jika menilik pada KUHP Indonesia yang diterapkan berdasarkan asas konkordansi, maka tidak bisa dipungkiri pula jika dalam KUHP tujuan pemidanaan lebih menuju pada aliran kompromis atau gabungan.[17]
Dari uraian diatas terkait tujuan hukum pidana dan tujuan pemidanaan dalam hukum civil law,common law maupun hukum umum hampir serupa dengan tujuan hukum pidana Islam. Tujuan hukum pidana maupun pemidanaan pada dasarnya mencakup tujuan retribution, prevention baik special prevention maupun general prevention. Kesemua tujuan hukum itu pada essensinya bertujuan untuk memberikan kemaslahatan, perlindungan dan kemanfaat kepada individu dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maidah (5): 38.
An-Nur (24): 2.
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Garafika, 2007.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Sleman: Logung Pustaka, 2007.
----, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syaamil Press-Grafika, 2001
Tanya, Bernard L. dkk., Teori-Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Materi Perkuliahan Filsafat Hukum Islam disampaikan oleh Prof. DR. Abdul Salam, Tanggal 28 November 2011.




[1] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Sleman: Logung Pustaka, 2007), Hlm. 2.
[2] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007), hlm. 1.
[3] Bernard L. Tanya dkk., Teori-Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 154.
[4] Materi Perkuliahan Filsafat Hukum Islam disampaikan oleh Prof. DR. Abdul Salam, tanggal 28 November 2011.
[5] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 24-25.
[6] Ibid, hlm. 27-31.
[7] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 129.
[8] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam........, hlm. 53-54.
[9] Ibid,  hlm. 52.
[10] Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Dalam Konteks Modernitas, (Bandung: Asy Syaamil Press-Grafika, 2001), hlm. 130-131
[11] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), hlm. 13-14
[12] Al-Maidah (5): 38.
[13] An-Nur (24): 2.
[14] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 288-290.
[15] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 257
[16] Ibid, hlm. 256-257.
[17] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 27-33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar