Sabtu, 17 Desember 2011

TUJUAN HUKUM PIDANA ISLAM


Istilah fiqh jinayah atau hukum pidana Islam diartikan sebagai ketentuan-ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang melarang orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.[1] Dalam konsep hukum positif, hukum pidana disebut juga dengan ius poenale dalam arti objektif (hukum pidana materil) dan ius puniendi dalam arti subjektif (hukum pidana formil).[2]
Pengertian hukum pidana secara umum tidak ada perbedaan definisi antara pidana Islam maupun pidana positif. Hanya saja, pada hukum pidana positif, pendefinisian hukum pidana ini ditekankan juga pada hak penguasa untuk menjatuhkan pidana tanpa ada campurtangan dari pihak korban. Dalam konsep hukum pidana Islam, ada konsep qisas-diyat yang pada pelaksanaannya melibatkan korban-ahli waris untuk ikut serta menentukan penjatuhan hukuman bagi pelaku.
Roscoe Pound menyatakan “law as a tool of social engineering” hukum itu sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Yang menjadi pokok pikiran hukum adalah menata kepentingan-kepentingan yang ada di masyarakat.[3] Setiap aturan maupun norma yang ada di dunia ini mempunyai tujuan. Sama halnya dengan norma hukum atau hukum itu sendiri. Dalam konteks hukum Islam, tujuan hukum menurut para ulama yaitu diantaranya: Mendidik jiwa, Mensucikan manusia, Menegakkan keadilan, Merealisir kemaslahatan, dan Kebahagiaan di dunia-akhirat.[4]
Jika kita melihat tujuan pemidanaan dalam hukum konsep umum, pada beberapa literatur, tujuan hukum pidana dibedakan antara tujuan hukum pidana (sstrafrechtscholen) dengan tujuan diadakannya pemidanaan (strafrechtstheorieen). Tujuan hukum pidana mengenal dua aliran untuk maksud dan tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana yaitu: 1) Aliran klasik, tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara (pertama dikemukanan oleh Markies Van Beccaria tahun 1764). 2) Aliaran moderen yang mengajarkan bahwa tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.[5]
Tujuan diadakan pemidanaan (strafrechtstheorieen) dikenal dalam tiga teori pidana, yaitu:
Teori pembalasan (retribution), teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 dan peletak dasar teori ini adalah Immanuel Kant, kemudian disusul dengan par apemikir seperti Hegel, Herbert dan Stahl. Hanya saja pada dasarnya aliran ini dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakuakan oleh orang yang bersangkutan.
Teori tujuan (pevensi), teori ini terbagi dalam beberapa paham aliran juga yaitu: a. prevensi umum (generale preventie) pencegahan kepada semua orang. b. Prevensi khusus (speciale preventie) pidana ini mencegah si pelaku untuk mengulangi lagi. c. Memperbaiki si pembuat, d. Menyingkirkan penjahat, e. Aliran yang mendasarkan bahwa kejahatan menimbulkan kerugian yang bersifat ideal di masyarakat, oleh karenanya pidana diadakan untuk memperbaiki kerugian itu.
Teori gabungan menyatakan bahwa pidana hendaknya didasarkan pada tujuan unsur-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu tanpa menghilangkan unsur yang lain, maupun semua unsur yang ada. Teori ini dikemukan oleh beberapa tokoh seperti Hugo De Groot (Grotius) yang memandang teori gabungan ini sebagai pidana berdasarkan keadilan absolute, dan Rossi dengan teorinya “Justice sociale” meyatakan bahwa keadilan absolut itu hanya dapat terwujud dalam batas-batas keperluan justice sociale.[6]
Pendapat lain menyatakan juga bahwa tujuan pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism. Kedua padangan ini umumnya diikuti dan kemudian dikembangankan dalam teradisi masing-masing negara baik yang menganut common law system maupun civil law system. Dalam padangan utilitarianism yang diletakannan dasarnya oleh Bentham, padangan ini terutma menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat dan teori tujuan), bukan hanya sekedar pembalasan tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.[7]
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yaitu: Pembalasan (revenge), Penghapusan dosa (ekspiation), Menjerakan (detern), Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal). Abdul qadir Awdah, seorang ahli hukum pidana Islam dari Mesir mengatakan bahwa prinsip hukuan dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu: 1) menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpindana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. 2) Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas msayarakat sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan prilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidan aharus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentaraman msayarakat yang menghendakinya.[8]
Beranjak kepada tujuan hukum pidana Islam, dari berbagai literatur yang ada, hampir semua secara umum mengamini bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah untuk menciptakan keadilan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan-perbutan yang bisa menimbulkan kerugian terhadap individu dan masyarkat, baik yang berkaitan dengan jiwa, harta maupun kehormatan. Tujuan ini sejalan dengan pemberian hukuman dalam Islam sesuai dengan konsep tujuan umum disyaritkannya hukum, yaitu untuk merealisasi kemaslahatan umat dan sekaligus menegakkan keadilan.[9]
Bila dilihat tujuan hukum itu dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW baik yang termuat dalam Al-Qur’an atau Al-Hadis yaitu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna bagi kehidupan manusia (kemaslahatan manusia: kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Ishak Asy-Syathibiy dan disepakati oleh para ahli lainnya yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta). Oleh karenanya, tujuan hukum Islam dapat dilihat dari dua aspek, yaitu:
1.        Aspek pembuat hukum Islam adalah Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, tujuan hukum Islam adalah untuk memenuhi keperluan manusia yang bersifat daruriyyat yaitu kebutuhan primer, hajiyyat yaitu kebutuhan skunder seperti berbagai fasilitas untuk bekerja maupun fasilitas umum, dan tahsiniyyat dapat diartikan sebagai pemenuhan hal-hal yang menjadikan manusia mampu berbuadan dan urusan-urusan hidup secara lebih baik.[10] Selain itu, adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia serta meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami hukum Islam melalui metodelogi pembentukannya (ushul al-fiqh).
2.        Aspek manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum Islam yaitu: tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan manusia yang bahagia. Caranya adalah dengan mengambil yang bermanfaat dan menolak yang tidak berguna bagi kehidupan. Singkatnya untuk mencapai keridhoaan Allah SWT.
Berdasaarkan tujuan hukum Islam di atas, dapat dirumuskan bahwa tujuan hukum pidana Islam adalah memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan hukum pidana Islam amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, empat dari lima tujuan syariat yang disebutkan di atas, hanya dapat dicapai dengan mentaati ketentuan hukum pidana Islam, dan dua diantaranya bertautan dengan ketentuan hukum perdata Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata dipeliharai oleh ketentuan hukum pidana Islam.[11]
Tujuan hukum pidana Islam secara implisit menetapkan adanya tujuan pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:
    
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[12]
รจ  
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.[13]
Dari ayat di atas secara substansial menunjukan adanya unsur pembalasan yang dikehendaki syara bagi pelanggar undang-undang dan harus dilakukan di depan umum. Dari uraian diatas dapat disimpulkan tujuan pemidanaan dalam islam sebagai berikut:
1.      Pemidanaan sebagai pembalasan (retribution), artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. Jangka panjang aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas (Social defence). Contoh hukum qisas.
2.      Pemidanaan sebagai pencegahan kolektif atau general prevention artinya pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh: orang berzina harus didera dimuka umum sehingga orang lain melihat dan diharpkan tidak melakukan perzinaan.
3.      Pemidanaan dimaksud sebagai special prevention (pencegahan khusus) artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi, dalam aspek ini terkandung nilai treatment.[14]
Menurut pendapat lain, Tujuan pokok dalam penjatuhan hukum dalam syari’at Islam ialah pencegahan atau preventif (ar-radu wa zajru) dan pengajaran serta pendidikan atau represif (al-islah wa tahdzib). Pengertian pencegahan disini adalah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau tidak terus menerus melakukan perbuatannya, dan mencegah orang lain agar tidak melakukannnya.[15]
Oleh karena tujuan pemidanaan adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dan demikian terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian keadaanya, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukum ta’zir, menurut perbuatannya. Selain pencegahan syari’at Islam bertujuan juga untuk memberikan perhatiannya kepada diri pembuat sendiri, bahkan memberikan pelajaran dan mengushakan yang terbaik bagi pembuat jarimah. Disamping untuk diri pembuat, penjatuahn pidana juga bertujuan untuk membentuk masyarakat yang baik.[16]
Pada konteks Indonesia, maksud tujuan pemidanaan ialah:
1.      Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk.
2.      Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan mejadi anggota masyarajat yang berbudi baik dan berguna.
3.      Untuk menghilangkan noda-noda akibat tindak pidana.
4.      Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Sistem pemindanan dan susunan pidana di dalam WVS Nederlandse banyak dipengaruhi oleh aliaran prevensi khusus yang bersifat verbetering, menunjukan hukum pidana disana mempunyai tujuan kompromis. Jika menilik pada KUHP Indonesia yang diterapkan berdasarkan asas konkordansi, maka tidak bisa dipungkiri pula jika dalam KUHP tujuan pemidanaan lebih menuju pada aliran kompromis atau gabungan.[17]
Dari uraian diatas terkait tujuan hukum pidana dan tujuan pemidanaan dalam hukum civil law,common law maupun hukum umum hampir serupa dengan tujuan hukum pidana Islam. Tujuan hukum pidana maupun pemidanaan pada dasarnya mencakup tujuan retribution, prevention baik special prevention maupun general prevention. Kesemua tujuan hukum itu pada essensinya bertujuan untuk memberikan kemaslahatan, perlindungan dan kemanfaat kepada individu dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maidah (5): 38.
An-Nur (24): 2.
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Garafika, 2007.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Sleman: Logung Pustaka, 2007.
----, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2009
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syaamil Press-Grafika, 2001
Tanya, Bernard L. dkk., Teori-Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Materi Perkuliahan Filsafat Hukum Islam disampaikan oleh Prof. DR. Abdul Salam, Tanggal 28 November 2011.




[1] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Sleman: Logung Pustaka, 2007), Hlm. 2.
[2] Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007), hlm. 1.
[3] Bernard L. Tanya dkk., Teori-Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 154.
[4] Materi Perkuliahan Filsafat Hukum Islam disampaikan oleh Prof. DR. Abdul Salam, tanggal 28 November 2011.
[5] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 24-25.
[6] Ibid, hlm. 27-31.
[7] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 129.
[8] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam........, hlm. 53-54.
[9] Ibid,  hlm. 52.
[10] Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah Dalam Konteks Modernitas, (Bandung: Asy Syaamil Press-Grafika, 2001), hlm. 130-131
[11] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), hlm. 13-14
[12] Al-Maidah (5): 38.
[13] An-Nur (24): 2.
[14] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 288-290.
[15] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 257
[16] Ibid, hlm. 256-257.
[17] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 27-33.

Sabtu, 26 November 2011

UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) ATAU LEPAS (ONSLAG VAN RECHT VERVOLGING)

Berdasarkan KUHAP di Indonesia jelas akan kita lihat keanehan terkait masalah upaya hukum biasa terkait putusan bebas (vrijspraak) atau pada putusan lepas (onslag van recht vervolging). Dalam KUHAP pasal 67 terkait upaya hukum banding, secara yuridis normatif terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum tidak dapat dilakukan upaya banding.
Terkait masalah kasasi, diatur dalam pasal 244 KUHAP yang secara yurisdiksi normatif menutup kemungkinan penuntut umum mengajukan kasasi pada putusan bebas. Namun pada kenyataannya, pasal ini dinafikkan “contra legem” dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.
Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan putusan lepas (onslag van recht vervolging) apakah dapat diajukan kasasi dengan menggunkan acuan Pasal 244 KUHAP?. Sedangkan terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi dengan acuan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?.
Dari yang penulis pahami, terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dapat diajukan kasasi menurut Pasal 244 KUHAP, dengan alasan hanya tertera putusan bebas yang tidak dapat diajukan kasasi. Sedangkan terkait kasasi atas putusan bebas dengan acuan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP angka 19, dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni.
Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain: 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap (Yurisprudensi) bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak diatur terkait keputusan menteri dapat mengganti undang-undang, undang-undang hanya dapat diganti dengan peraturan pengganti undang-undang.
Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak.
Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.
Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangn di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya ).

Penyampingan Perkara

BAB I
DEPONERING (PENYAMPINGAN PERKARA)
A.    Pengertian Deponering (Penyampingan Perkara)
Penyampingan perkara (deponering) yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Pasal 32 huruf e Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”.
Dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 pasal 35 huruf c disebutkan: “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat. mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuna ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang memepunyai hubungan dengan masalah tersebut”.
Kemudian dalam KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c yang berbunyi: “Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum menjadi wewenang Jaksa Agung”.
Kejaksaan dalam konteks Hukum Acara Pidana Indonesia disebut sebagai Dominnus Litis (badan yang berhak mengadakan penuntutan). Dari hak penuntutan tersebut, muncul apa yang dikenal dengan Asas Legalitas (penuntut umum wajib menuntut suatu delik) dan Asas Opportunitas (opportuniteit beginsel) yang menurut A.Z. Abidin Farid dirumuskan sebagai asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.
Dalam kontek penyampingan perkara (Deponering) pada Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, mengandung unsur-unsur yang terdiri dari:
a.    Tugas dan wewenang Jaksa Agung, b. Tindakan penyampingan perkara, c. Alasannya demi kepentingan umum.
Jelas disebutkan dalam Undang-undang kejaksaan, bahwa Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hak Jaksa Agung termasuk dalam penyampingan perkara (Deponering) merupakan wewenang tunggal di tangan Jakasa Agung. Ini dimaksudkan agar tetap menjamin untuk sejauh mungkin tidak disalahgunakan. Jaksa Agung dalam pengambilan keputusan tersebut senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dengan perkara tersebut.
BAB II
PERBEDAAN DEPONERING DAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN
Terkait dengan pembahasan Deponering, tak akan terlepas dari pembahasan masalah penghentian penuntutan oleh kejaksaan (penerbitan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan/SKPP). Maka harus kita tekankan akan perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara (deponering). Berikut ini adalah beberapa hal yang membedakan antara deponering dan penghentian penuntutan:
1.      Penyampingan perkara.
Perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi, perkara yang cukup fakta dan bukti itu “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan ‘demi untuk kepentingan umum’. Deponering ini hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung langsung.
2.      Penghentian Penuntutan.
Alasan penghentian penuntutan bukan didasarkan atas kepentingan umum, tetapi berdasarkan alasan dan kepentingan hukum itu sendiri. Alasan tesebut diantaranya:
a.       Ditutup dem kepentingan hukum
·         Karena tidak cukup bukti. Contohnya: tidak mencapai minimal dari alat bukti yang diharuskan seperti disebut dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti yang ada tidak sah menurut hukum, tidak terpenuhinya unsur delik dari pasal yang didakwakan.
b.      Ditutup demi hukum
Apabila dijumpai suatu tindakan pidana yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa hak kejaksaan untuk menuntut tindak pidana tersebut gugur, maka tindak pidana tersebut haurs ditutup demi hukum. Ini disebutkan karena:
·         “Nebis in idem” Pasal 76 KUHAP), Terdakwa meniggal (Pasal 77 KUHAP), Telah lewat waktu (Pasal 78 KUHAP), Penyelesaian di luar proses (Pasal 82 KUHAP), Abolisi dan Amnesti.
Disamping perbedaan dasar alasan yang telah diungkapkan di atas, terdapat perbedaan prinsipil antara deponering dengan penghentian penuntutan perkara:
·      Deponering satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.
·      Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutan kembali jika ternyata ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum. Penghentian penuntutan dapat diajukan upaya hukum dalam proses praperadilan (Pasal 77-81 KUHAP). Jika Deponering dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh jaksa pada lingkup kejaksaan RI.
BAB III
ANALISIS KASUS BIBIT-CHANDRA
Dalam sejarah Hukum Acara Pidana Indonesia penyampingan perkara demi kepentingan umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru pengenyampingan perkara demi kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, Jaksa Agung menggunakan hak opportunitasnya sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.
Mengapa kepentingan politik yang menjadi pertimbangan dalam mengenyampingkan perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan diadili di persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan masyarakat termasuk di kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yang berdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain, jadi pertimbangann dalam perkara Jenderal M. Yasin ini adalah pertimbagan kepentingan umum dalam aspek politik negara.
Pada masa reformasi, problem deponering ini kembali mencuat dalam kasus yang dialami oleh Bibit-Chandra. Kasus petinggi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan Chandra M Hamzah menyedop banyak perhatian masyarakat. hal tersebut terlihat jelas hingga adanya akun pada salah satu situs jejaring social yang mendukung kedua petinggi KPK tersebut. Kasus tersebut selanjutnya ditangani oleh tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution, dalam situs resmi liputan6.com Tim 8 menyimpulkan beberapa hal diantaranya:
a.    Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya penyuapan dan/atau pemerasan pemerasan dalam kasus Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa) berdasarkan alasan-alasan:
1) Testimoni Antasari Azhar
2) Laporan Polisi oleh Antasari Azhar
3) Rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura di Laptop Antasari Azhar di KPK
4) Keterangan Anggodo tanggal 7 Juli 2009
5) Keterangan Anggoro tanggal 10 Juli 2009 di Singapura
6) Keterangan Ari Muladi.
b. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:
1) Surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anggoro;
2) Surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra.
c. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan kesimpulan yang dituangkan dalam situs tersebut, Tim 8 juga mengusulkan beberapa usulan terkait penyelesaian kasus tersebut:
a.         Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara ini masih di tangan kepolisian;
b.         Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau
c.         Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponirkan perkara ini.
Permasalahan kasus Bibit-Chandra mulai timbul lebih runcing setelah Kejaksaan memutusan untuk menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SKPP. Sayangnya SKPP tersebut dianggap terlalu lemah karena alasan-alasan yang seharusnya diajukan oleh Kejaksaan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP dan dianggap terlalu lemah. Hal tersebut berbuntut pada praperadilan yang diajukan oleh Anggodo.
Dikarenakan alasan penerbitan SKPP lemah, maka SKPP itu dibatalkan oleh hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika Kejaksaan banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Selatan atau memenagkan tuntutan Anggodo. Menurut KUHAP, sampai disini perkara selesai, artinya, kejaksaan wajib meneruskan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. Namun kejaksaan Agung masih coba-coba mengajukan PK ke Mahkama Agung yang akhrinya Mahkama Agung memutuskan tidak berwenang mengadili permohon PK tersebut.
Dari uraian di atas, timbul beberapa kemungkinan yang dapat di tempuh oleh kejaksaan. tinggal dua alternatif: deponering atau meneruskan kasus ke pengadilan. Pendapat lain yang mengemuka adalah penerbitan SKPP baru atau SKPP jilid dua.
Akhir Oktober 2010, keputusan Kejaksaan Agung (Kejakgung) secara resmi melakukan deponering atas kasus dugaan penyalahgunaan wewenang Bibit-Chandra. Keputusan melakukan deponering disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung, Darmono, saat jumpa pers di Gedung Jaksa Agung, Jakarta, Jumat (29/10). Sikap tersebut, menurutnya, diambil setelah pimpinan Kejaksaan Agung, yakni Jaksa Agung Muda (JAM), Staf Ahli, dan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) berembuk untuk menentukan langkah hukum sesuai undang-undang, terhadap kasus yang menuai perhatian publik itu.
Sekarang yang menjadi perdebatan banyak kalangan adalah apakah sudah tepat deponering yang diambil oleh Jaksa Agung? dan bagaimana dengan opini masyarakat terhadap para pihak yang memperoleh deponering dalam hal ini Bibit dan Chandra?.
Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara demi kepenitangan umum”. Banyak argument akan muncul, alasan pendeponeringan perkara Bibit-Chandra karena keduanya adalah Pimpinan KPK yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra ordinary crime), KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan pimpinannya. Andai Bibit-Chandra diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara dari jabatannya. Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh presiden ini dapat menyebabkan KPK tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Problematika yang muncul setelah putusan penerbitan deponering oleh Jaksa Agung ialah, secara tidak langsung hal itu mengandung pengakuan bahwa Bibit-Chandra adalah orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap sebagaimana yang ditegaskan oleh jaksa dalam surat dakwaan. Ini yang membedakan dengan SKPP yang dianggap tidak cukup bukti atau landasan hukum yang digunakan ternyata tidak kuat. Artinya, tidak ada kejahatan yang dilakukan. Sedangkan kasus Bibit-Chandra, oleh kejaksaan Agng diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja perkaranya “dikesampingkan” demi “kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.
Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi patokkan bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap tidak bersalah, Tentu saja kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan,  selamanya Bibit-Chandra harus dianggap tidak bersalah, dengan belum atau tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mereka bersalah. Bagaimana akan ada, kalau perkaranya memang “dikesampingkan” alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak jelas ujung pangkalnya.
Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK dapat berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik yang timbul dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana mungkin orang yang diberi amanah memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara mereka diduga dan diakui sebagai pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum dapat diyakinkan secara hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan keduanya dimata masyarakat luas.
Permasalahan lain yang mencuat terkait wewenang dan tugas deponering ini apakah dapat dilakukan oleh Plt Jaksa Agung?. Kita ingat beberapa waktu lalu judicial review pada Mahkama Konstitusi (MK) terkait Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh Yusril Izha Mahendra, yang kemudian berakhir pada pemberhnetian Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan digantikan oleh wakilnya sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono.
Sebagaian praktisi hukum Indonesia beranggapan Plt Jaksa Agung tidak dapat mengambil keputusan yang strategis termasuk deponering. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan resiko politik yang tinggi, dan politik balas budi antara KPK dengan Kejaksaan. Yang artinya, mengharuskan deponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung definitive yang dianggkat oleh Presiden.
Harus diakui keputusan kejaksaan mendeponir kasus tersebut secara tidak langsung menampakkan ketidakpatuhan kejaksaan atas putusan praperadilan agar perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Memang kejaksaan yang memiliki hak penuntutan ‘dominus litis’, hanya saja, dalam kasus Bibit-Chandra ini kejaksaan diangap lalai dalam mengelurkan SKPP dan berbuntut pada deponering.
Dari uraian panjang di atas, saya rasa deponering yang dikeluarkan oleh Kejaksaan dianggap kurang tepat. Ini justru tambah mencederai kejaksaan di mata masyarakat. Seharusnya Kejaksaan tidak terburu-buru mengambil deponering sampai presiden menunjuk Jaksa Agung definitif. Adabaiknya Kejaksaan memilih mematuhi putusan PN Jakarta Selatan dan PT Jakarta untuk meneruskan ke tahap pengadilan.
 Jika alasannya dapat mengakibatkan KPK tidak dapat menjalankan tugas dengan maksimal, saya rasa KPK masih tetap dapat menjalankan tugas dengan dua petinggi KPK yang lain. Tinggal bagaimana kredibilitas kejaksaan dan pengadilan dalam mengadakan pemeriksaan di pengadilan. Dalam artian, jika keduanya terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas, namun jika bersalah nyatakan bersalah tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti.
Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih dimata semua pihak, dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law di Indonesia.
BAB IV
KESIMPULAN
Deponering atau mengkesampingkan perkara tidak diatur secara jelas dalam KUHAP maupun undang-undang, hanya diatur dalam beberapa: Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c, Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Deponering ini terjadi atas dasar asas Opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung.
Deponering berbeda dengan penghentian penuntutan (SKPP), jika deponering danggap telah cukup bukti dan harus dikesampingkan karena alasan ‘demi kepentingan umum’, maka secara rinci hal penghentian penuntutan dilakukan dengan 2 alasan: ditutup demi kepentingan hukum karena tidak cukup bukti dan ditutup demi hukum dikarenakan hal-hal yang terjadi sesuai dengan pada Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 , Pasal 82 KUHAP, Abolisi dan Amnesti serta dapat dilakukan upaya praperadilan sedangkan deponering tidak.
Terkiat kausus Bibit-Chandra, SKPP Kejaksaan dianggap lemah mengakibatkan praperadilan yang diajukan Anggodo dimenangkannya dengan putusan diteruskan kasus tersebut ke pengadilan. Kejaksaan akhirnya mengeluarkan putusan deponering dengan alasan demi kelancaran proses dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja hal ini malah menimbulkan pro-kontra karena secara etis petinggi KPK tidak memiliki status pasti yang jelas dimata masyarakat apakah bersalah atau tidak. Sehingga adabaiknya kasus ini diteruskan ke pengadilan dan diproses seadil-adilnya dan sebenar-benarnya agar kredibilitas para aparatur penegak hukum tidak diciderai kembali dan dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law  di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2007, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.
RM, Soharto.         Penuntutan dalam Praktek Peradilan
KUHAP Lengkap. 2008, Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, M. Yahya. 2009,  Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Prakoso, Djoko. 1985. Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
http//:www.Liputan6.com
http//:www.sinarharapan.com
http//:www. Yustisi.com